Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Perayaan Senin Sore

Hujan turun berderai-derai Serupa tangis Serupa perayaan sore ini Berlapis-lapis percikan bak kabut Jalanan basah membuminya debu Larut bersama sekelumit teori kehidupan perkotaan nan menggebu Bersama pikiran yang masih bersemedi Dalam yang jauh ke negeri antah berantah Yang tak kuasa kulawan semua ilusi Berbantah-bantah Pada logika manusiawi Kudengar hujan bisa menculik siapa saja Pikiranmu, pikiranku, semua pikiran manusia Terlena deru derai jatuhnya Sembab tanah dan hawa Lalu tertelan oleh kenangan yang piawai Hujan turun serupa tangis, serupa tarian ditingkahi riuh gelegar petir Angin yang bermain-main Serupa perayaan sore ini pada senin yang jemu Tak ada secangkir kopi pun secangkir teh hangat Pikiran masih berjibaku di jalan raya perkotaan yang tak ada matinya. Cikarang City; 26-November-2018.

KEKASIH DARI BULAN ( Cerpen)

Cerpen ini pertama dimuat di koran Harian Pikiran Rakyat. Edisi Minggu, 02 September 2018. Kedua matanya tertambat pada bulan purnama di malam itu. Semilir angin malam sedikit bertingkah membelai poni rambutnya yang panjang. Usia tiga puluh lima tahun yang menyedihkan untuk pria itu ketika semua teman-teman sebayanya sudah punya pasangan hidup dan keluarga. Hampir tak punya daya saat sanak keluarga dari orangtuanya menanyakan, “Kapan menikah?” Dan komentar terus berhamburan tanpa pernah membiarkan sedikit saja menjawab. Pria itu sebenarnya termasuk tampan sekitar lima belas tahun lalu sebelum jambang dan kumis terpelihara pada wajah yang berahang lebar. Kini ketampanannya seolah habis, sejak Gugun enam kali putus hubungan asmaranya tanpa sebab dan lima kali gagal ke jenjang pernikahan. Hanya karena hobinya melukis. Sampai saat ini, pria itu masih melukis dan memandangi bulan setiap malamnya. “Tidak ada perempuan yang akan mau denganmu, jika pekerjaanmu hanya begitu.” Bahkan kedua o

TERJEBAK ( Cerpen-Rosi Ochiemuh )

** Diterbitkan pertama kali oleh : Majalah SIMALABA.net. Semarak Malam Minggu. Edisi Redaksi No.21. Sabtu, 02-Juni-2018. Tubuhku terpental masuk ke tempat bernuansa hijau. Hijau kelabu, hijau pastel, hijau muda, hijau terang, hijau daun, hijau lumut. Retinaku sakit sekali. Aku belum pernah ke tempat aneh ini. Tempat anomali di hadapanku orang-orang kulitnya seputih susu. Kendaraan mereka bukan dari mesin kaleng. Aku berpikir ini bukan bumi. Mereka lirik aku yang kebingungan. Kedua alis dan kening mereka berkerut seolah aku makhluk aneh di tempat ini. Kulitku sawo matang, rambut keriting hitam, mata bundar, hidung bulat, tinggi satu setengah meter. Mereka semua lebih pendek dariku. Mungkin setengah meter tingginya. Rambut mereka keperakan, hidung mancung, pupil mata hijau, jari-jari tangan lentik, kakinya jenjang, sepertinya mereka tidak berjenis kelamin karena postur mereka semua sama. Satu per satu mendekat, aku tidak bisa melihat keadaan. Mereka berkerumun, aku terduduk tak

RAMBUT MARLIN [Cerpen-Karya: Rosi Ochiemuh)

**Diterbitkan pertama kali oleh : Koran Radar Mojokerto (Grup Jawapos) Edisi ; Minggu, 02 - September - 2018. Empat tahun sudah bergelar pengangguran. Jika kuliah di universitas, mungkin sudah jadi sarjana. Bagaimanapun uang bicara ketika kamu ingin kuliah, atau akan memasuki dunia kerja. Banyak teman-teman seangkatan sekolah yang bekerja di dunia industri jadi pegawai operator mesin membayar terlebih dahulu uang muka pada yayasan yang mengelola. Sayangnya, aku bukan anak orang kaya. Emak dan bapak pedagang kelas teri. Dagang nasi uduk dan buka warung kopi. Berapa sih penghasilan mereka sehari? Bukannya tidak bisa cari kerja lain selain kuli pabrik dengan ijazah terakhir sekolah menengah kejuruan mesin. Sayangnya, aku bukan murid tekun. Semua nilai raport dan ijazah didapat dengan cara curang. Memalak teman yang pintar dan lemah. Nilaiku hampir setara dengan mereka. Tubuhku tidaklah besar, tapi otot-otot lengan dan kaki lumayan berisi. Karena setiap hari ke pasar pagi membeli keperlu

Lintasan Nakal Perempuan yang Jatuh Cinta Lagi.

Tatapan matamu yang baru-baru ini kurasakan begitu kunikmati hangat melesap ke lubuk hati. Jauh di sana, denyut nadi itu semakin berdesir deras dengan mulusnya. Lalu senyuman manis itu tiba-tiba kurasakan aneh menyentil sudut jiwa yang kaku. Jadi bergelombang dan aku bergoyang-goyang diayun ombak samudera lengkung manismu. Padahal sudah lama hidup bersamamu, tapi mengapa rasa ini hadir kembali lebih dari rasa yang kualami dahulu. Malam ini baru kurasakan api rindu itu menyala tiba-tiba dan hangatkan sepi yang biasanya kulalui saat kau tak ada. Aku sudah terbiasa, kau tak ada. Tapi kali ini berbeda. Rindu yang kehangatannya makin mengalir menuju sendi-sendi tubuhku. Dan mendiami syaraf-syarafku yang tenang. Lesat dan mendadak aku gelisah. Tiba-tiba kuingin hujan turun deras malam itu. Saat kau belum datang padaku. Kemudian kau segera pulang dan mendatangiku untuk berteduh dari gigilnya hujan malam ini. Hingga rindu terobati meski kehadiranmu itu biasa terjadi. Tapi ini lain, entahlah

Aku Mencintai Malam, dan Denyut-Denyut Warna Kota

Aku mencintai malam yang tak mampu memberiku mimpi yang indah. Saat tertidur pun rasanya mimpi itu hanya rangkaian berupa getir-getir siang hari yang panjang tercerai dan dibungkus aroma kecemasan gambar masa depan. Malam tak seharusnya membuatku menggigil selepas menghabiskan hari penat di sepanjang trotoar. Kadang jalan tak semulus yang dikira olehku. Lampu-lampu lalu lintas terlihat bak pajangan jalan raya. Tak berarti apa-apa untuk membuat kota semakin teratur. Kudengarkan suara bising kendaraan yang melintas. Kurasakan energi-energi penguasa berlompatan di sini. Jejak-jejak ego para pengendara kendaraan roda dua. Dan jejak-jejak mereka yang tak jemu untuk melewati jalanan kota meski selalu tak mulus. Malam yang tak bisa membuat tempat yang kupijaki untuk diam sejenak. Denyut nadi kota ini terasa panjang. Seperti tak pernah berakhir dan kekal. Lajurnya terus melaju entah sampai ke mana akhirnya. Kunikmati aroma malam yang tak mungkin bisa melihat kerlip bintang dari kota ini. S

Siluet Payung Hitam ( Cerpen )

(Pertama kali dipublikasikan di koran Radar Mojokerto (Grup Jawa Pos). Edisi Minggu, 29 April 2018) Perempuan berpayung hitam itu ziarah ke makam salah satu anaknya yang mati dan beruntung dimakamkan. Anak-anak lain entah ke mana. Ada yang mati di kloset, kotak sampah, dalam kardus di semak-semak, jauh dari permukiman warga. Tidak ada yang tahu selain ia dan Tuhannya. Di bawah sinar purnama ia belai makam kecil yang papan nisannya tertulis Fulanah binti Jumiati. Masih teringat ia akan kelahiran bayinya itu. Ia merasa jadi perempuan normal bisa mengandung sembilan bulan. Tadinya ia yakin bayi itu akan membawanya pada kehidupan lebih baik, tidak lagi jadi perempuan pinggir jalan dengan riasan menor menjajakan diri tiap malam. Saat rasa mulas sempurna, tidak sadar cairan ketubannya pecah. Sampai dimana Mak Edo—tetangganya berteriak mendapatinya lalu membawanya ke rumah sakit. Selepas operasi sesar, bayinya tidak menangis. Bayi itu tersenyum kaku dengan tubuh montok seputih salju. Dokt

PENYESALAN ROMAN. (Cerma)

(Pertama kali dipublikasikan oleh Tabloid Minggu Pagi. Terbit setiap hari Jumat. Karena Jumat tanggal merah, jadi hari Kamis, 29 Maret 2018) Sepulang sekolah, Roman kaget mendapati gang menuju rumahnya terpasang bendera kuning. Roman kebingungan. Siapa yang meninggal dunia? pikirnya. Setiba depan rumah yang terlihat, ia yakin ada yang meninggal dunia dalam rumahnya. Lekas ia memasuki rumah yang ramai didatangi orang-orang. Benar saja, beberapa tetangga berbela sungkawa atas apa yang terjadi padanya. “Roman, kami turut berduka, atas kepergian nenekmu.” Terlihat ibunya duduk di depan jenazah tertutupi kain batik. Aroma gaharu dan wewangian kembang menguar. Nenek meninggal dunia? tanyanya dalam hati masih tidak percaya. *** Kemarin Roman menggerutu karena Nenek selalu bawel padanya. Apa yang dilakukan Roman selalu salah. Hingga ia kesal dan mengumpat dalam hati tentang neneknya. Bahkan Roman berharap jika neneknya sakit, sampai tidak lagi bawel padanya. Apa sebenarnya yang Nenek ingin

Potongan-potongan Senja yang Kuabadikan di Kepalaku.

Jelang senja telah mengajakku untuk tuliskan sesuatu. Tentang senja lainnya selepas aku tersesat pada buku "Sepotong Senja untuk Pacarku" karya SGA. Di sana aku terhanyut pada potongan senja yang komplit seukuran kartu pos. Untuk zaman now saat ini mungkin anak-anak remaja tidak familiar dengan kartu pos. Tapi di zaman sekolahku dulu kartu pos masih jadi primadona meski perlahan beralih rupa digunakan untuk mengisi undian berhadiah, bukan surat bersyarat. Senja di tempatku berpijak saat ini tak seindah cerita di Sepotong Senja untuk Pacarku. Jauh sekali perbedaannya. Di tempatku ini tempat yang hiruk-pikuk jamahan polusi kendaraan berteknologi maju. Polusi bergulat dengan polusi. Maksudku, polusi kendaraan bergulat dengan polusi gedung pabrik-pabrik industri beragam. Hingga tak akan pernah bisa menemukan senja yang utuh dan indah. Terkadang di tempatku, senja itu dimakan oleh gedung-gedung menjulang dan kabut asap polusi hingga warnanya tak sejingga pesona yang kubaca di b

Tentang, SESUATU DI KOTA KEMUSTAHILAN.

Pagi-pagi saya iklan sesuatu tentang buku kumpulan cerita pendek saya sendiri. Buku karya tulis saya yang di dalamnya terdapat banyak kisah beragam. Dari para tokoh rekaan saya tentang kota, jalanan, tragedi, tokoh-tokoh perempuan yang menyedihkan terjebak dalam jalan hidupnya yang pelik, kekecewaan, kekonyolan pemuda, tokoh anak nakal yang bersahabat dengan orang gila di pasar. Satu dongeng saya buat di kehidupan moderen, kemudian bagaimana jika sebuah cinta yang tak bisa bersatu jika Tuhan Menghendaki terjadi di dunia lain, dan lainnya. ☆☆☆ Semua cerita pendek pilihan itu dibuat semasa tahun 2015 - 2017. Beberapanya ada yang dimuat di koran lokal Minggu. ☆☆☆ 21 Cerpen dari beragam kisah dengan tokoh-tokoh yang beragam pula. Semoga bisa menghibur pembaca dan menemukan sesuatu di sana. Entah itu pesan, kesan, yang jelas saya hanya menulis. Dan saat ini terus menulis meski masih belum sempurna. ☆☆☆☆☆☆ Penasaran.. Silakan dipesan kawan-kawan. Kumpulan Cerita Pendek : SESUATU DI KOTA

Jalanan Bisa Sekejam Ibu Tiri.

Pada suatu waktu, saat rintik-rintik gerimis itu aku berada di bawah kontruksi jembatan layang kalimalang yang belum rampung. Menunggu angkutan umum 61 memilih jalan alternativ. Aku jadi ingat sesuatu pada film-film sedih yang kutonton waktu masih sekolah. Lupa judulnya, tapi ingat ceritanya. Mirip ratapan ibu tiri. Dua orang anak kecil yang dipaksa ibu tirinya menggelandang di jalan raya. Tepatnya Ibu Kota. Dalam hal ini, ayah kandung mereka sudah tiada karena sakit dan sebetulnya diracun juga oleh ibu tiri yang kelewat kejam. Si ibu tiri ini tidak sabar mengurus ayah mereka yang sakit-sakitan. Sampai nekad untuk menghabisi nyawa ayah mereka dengan diberi racun tikus pada makanannya. Kedua anak kecil itu kakak beradik yang berusia sembilan dan tujuh tahun. Seharusnya diusia itu mereka merasakan indahnya belajar di sekolah, tapi yang terjadi justru mereka berada pada kekejaman ibu tiri dan jalanan Ibu Kota. Mereka berdua dipaksa ibu tirinya untuk mencari uang di jalanan. Entah itu j

"Dia Ingin Ibunya Jadi Pesulap" (Cerpen karya Rosi Ochiemuh)

Cerpen ini pertama kali dimuat di koran Radar Mojokerto grup Jawa Pos. Edisi Minggu, 21-Januari-2018. Bimsalabim, Abrakadavrah kalimat ajaib itu diucapkan ketika seorang Pesulap menunjukkan keajaibannya. Setiap kali siaran tivi swasta menayangkan acara sulap, gadis kecil itu mengerjap kegirangan. Bertepuk tangan sendirian, berjingkrak-jingkrak di sofa sampai tubuhnya bergoyang.  Di mata gadis kecil itu, sulap bentuk keajaiban terindah yang pernah dia lihat. Itu karena dia sering melihat ibunya menggerutu dan cemberut hingga dia merasa kasihan. Apa sih sebenarnya yang diinginkan orang dewasa itu? Pikir gadis kecil saat mendapati ayah dan ibunya bertengkar. Kalimat yang keluar dari bibir mereka bagai lebah terbang bergerombol mencari sarang. Atau gerombolan lebah itu keluar dari sarang masing-masing untuk berperang, yakni dari mulut ayah dan ibunya.  Dapur akan gaduh dengan suara dentuman pintu kayu, lalu piring, gelas, panci, bertabrakan di lantai keramik. Gadis kecil aka