Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

SENYUMAN DELIMA [Cerpen Rosi Ochiemuh]

Cerpen ini dimuat pertama kali di Koran Solo Pos (Rubrik Jeda. Edisi Minggu, 03 November 2019). Teriakan di pagi itu menerjang telinganya bersama ketukan pintu yang keras menggertak membangunkan dia dari tidur yang tenang. Hanya di waktu tidur, dia merasa hidup dan jadi manusia bahagia. Dengan tidur itu pula dia bisa menyusun cerita hidup yang indah dari mimpi-mimpi dan menciptakan bahagia sendiri.  “Lima! Bangun! Dua puluh menit terlewat!” teriak tuannya. Lelaki tua itu menggerutu, padahal dia baru tiba di rumah pagi itu. Delima mengucek mata, pelan-pelan dia bangkit dari tempat tidur. Kamarnya selalu dikunci dari dalam, juga jendelanya. Karena ingat selalu pesan tuannya, “Setiap sore menjelang senja, jangan lupa kau tutup semua pintu dan jendela. Meski ada aku atau tidak ada aku!”  Pertama-tama dia buka pintu kamar. Gegas menuju ruang dapur untuk memasak, karena lelaki tua itu sudah minta sarapan pagi. Lelaki tua itu membawakan sekantong besar belanjaan. Di

DENTING CINTA (My Cerpen mini)

Penulis : Rosi jumnasari, Nama pena : Rosi Ochiemuh. Buku perdana; Kumpulan cerpen Sesuatu di Kota Kemustahilan (Penerbit LovRinz Publishing Februari 2018). FB : Rosi Ochiemuh, IG: @ochiemuh, Twitter : RJumnasari.             Malam Minggu ini kafe sepi pengunjung. Denting-denting riuh lemari kafe tampakkan gelisahnya. Saya menunggu seorang pengunjung tetap, yang dulu sering menempelkan bibirnya pada tubuh saya, juga jemarinya yang lentik itu. Namanya Astrid. Dia selalu datang sendiri, membawa tas laptopnya kemudian berlama-lama dalam kafe hanya untuk menulis di laptopnya. Tempat duduknya dekat jendela sebelah kanan ujung. Sebelum datang rupanya dia sudah memesan tempat duduk paling strategis itu di sini melalui telepon.             Aroma stroberi dari lipblam di bibirnya menguar, menyegarkan dan manis meski yang diminum bukanlah sejenis jus buah juga sirup. Tapi, kopi hitam manis. Kue yang dipesannya hanya kue pie keju. Kontras dengan aroma lipblam yang dipakai di bibirnya

Bumi Mengeja Rentanya. [ My Puisi]

Penulis : Rosi jumnasari, Nama pena : Rosi Ochiemuh. Buku perdana; Kumpulan cerpen Sesuatu di Kota Kemustahilan (Penerbit LovRinz Publishing Februari 2018). FB : Rosi Ochiemuh, IG: @ochiemuh, Twitter : RJumnasari. Matari dan Bulan terburu-buru tuk menyerbu Bumi kita yang mulai rapuh peradabannya Bumi kita kian meredup kesuciannya dan Ia berkeluh pada bintang gemintang di jagad sana, tersedu-sedu ‘segerakan aku ditiupkan sangkala, biar hancur lebur’ ujarnya merana Ia dulu begitu ranum dan rekah, kini berkeriput muram diusia renta entah di peradaban manusia mana Ia berakhir, hancur, meleleh bersama Matari. Ia tak tahu, hanya berputar pada porosnya. Ikuti alur Sang Pencipta Mengeja rentanya, pelan-pelan bersamai waktu sembari merintih pilu meratapi makhluk-makhluk berkaki dua, berlaku semau mereka Bumi kita, tak bisa menari pun tertawa. Sedih di atas penderitaan keluh alam Di Bumi Cikarang, 15-Oktober-2019 *Catatan.  Puisi

DARI DUNIA LAIN [Cerpen Rosi Ochiemuh]

Cerpen dimuat pertama kali di Koran Radar Mojokerto Grup Jawa Pos. Edisi Minggu, 20 Oktober 2019. Bulan ragu-ragu muncul di pekatnya malam, aku terpaksa menjajakan bakso gantikan bapak yang sakit. Malam ini, selepas hujan turun sejak sore hingga isya, hampir setiap tempat yang dilewati sunyi. Dari kampung ke kampung. Dari jalan raya hingga menembus gang pada jalan lain. Tiba di sebuah jalan kecil remang cahaya pada deretan kontrakan petak empat pintu tertutup, satu pintu setengah terbuka. Terlihat gelap di dalamnya. Aku berpikir salah satunya mati listrik atau tokennya habis. Tidak ada yang aneh di pikiran ini. Tangisan anak kecil tiba-tiba terdengar di telinga. Dia duduk di samping pintu yang terbuka. Aku penasaran. Kenapa dilarut begini ada anak kecil belum tidur? Mungkin karena rumahnya gelap atau dalam ruangannya gerah, jadi pintunya dibuka separuh dan anak kecil itu belum bisa tidur, pikirku begitu. Aku berhenti tepat di depan kontrakan kecil itu.

[CERMIN] KEHILANGAN SUARA

Sedari dulu sudah dikatakan oleh sahabatmu, hendaknya berpikir yang panjang untuk menikah dengan Ivan. Pria yang sebenarnya kurang pantas untuk jadi pendamping hidup. Tapi, perjodohan tidak dapat dielak lagi. Semua sudah terjadi dan diatur oleh bapakmu. "Sri, Ivan pria yang pantas untuk jadi suamimu," ucap Bapak meyakinkan. Seolah-olah dia tahu segalanya tentang pria itu berikut keluarganya. Sejak remaja sampai kini, hidupmu selalu berdasarkan keputusan Bapak. Mulai dari masuk sekolah sampai diputuskan untuk berhenti sekolah. Hanya karena rasa bakti yang terpatri sejak kepergian Ibu kehadirat Illahi. Sebagai anak pertama kamu harus manut, demi adik-adik. Semua pekerjaan telah dilakoni demi membantu ekonomi Bapak. Usia remaja yang ceria tergerus oleh kerasnya hidup. Kamu rela melepaskan masa remaja dan masa muda tanpa kenangan manis. Tanpa sesuatu yang biasanya terjadi diwaktu muda. Lepas begitu saja. Beberapa teman lelakimu yang sangat sayang pun rela kamu lepaskan. Hanya

[Cerita Mini] KOTA KHAYALAN.

Sesekali menggerutu itu boleh, kan? Matahari pagi ini sangat tidak hangat. Sinarnya menyentak dan ada aura buru-buru di setiap ruas jalan raya yang kurasakan. Bermimpi bisa jadi karyawan teladan dengan gaji utuh tanpa potongan. Selain itu bonus akhir tahun menantikan untuk diterima. Itu semua hanyalah mimpi seorang karyawan kesiangan serupa aku. Betapa buruknya jika gerutu ini sampai ke telinga orang-orang yang sudah menganggapku orang baik. Sekali lagi, sesekali boleh menggerutu, kan? Agar dunia yang ada di hadapanku saat ini terasa berbeda. Maka setiap kali kupandangi kota yang kutinggali dengan segudang kesemrawutan infrastruktur beserta orang-orangnya, setiap itu pula rasanya ingin melalang ke kota yang lebih sejuk. Tidak ada kota yang lebih sejuk di negara ini. Semua telah terkontiminasi hal-hal yang berbau kemajuan teknologi dan pola pikir orang-orang moderen. Jangankan di kota, di pedesaan pun telah tercicipi aura itu. Aura kemajuan yang menyentak dan menghanyutkan para pendud

CERPEN : RUTUKAN SUBUH.

* Cerpen ini belum pernah dimuat di mana pun. Dua kali dikirim ke media koran, tapi tidak pernah dimuat. Sepertinya memang belum berjodoh dengan konsep dan tema cerpen.      Karya : Rosi Ochiemuh. Subuh yang dingin, aku sudah tergerak bangun. Karena pekerja kantor kecil sepertiku tidak bisa menghentikan kemacetan jalan raya ingar-bingar liar kendaraan yang tidak akan menoleransi untuk jalan duluan. Bisingnya klakson-klakson sepagi itu terdengar seperti monster. Peringatan bahwa kita tinggal di sebuah kota maju yang bergantung pada kemajuan teknologi tapi miskin simpati.             Wajah-wajah tegang, tidak ada senyum kutemukan dari mereka kecuali wajah berkeringat yang berkali-kali melirik jam di pergelangan. Aku tahu jam tangan mereka tidak murahan seperti yang kupakai. Beberapa ber merek Swiss Army , Alba , Chanel , Jacob & Co, Bvlgari , Cartier , dan yang terjangkau Sofie Martin yang peminat terbanyak nya perempuan muda. Aku tahu bahwa mereka tegang sembar