Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

[PUISI] judul : Di Lambung Ibu & Kaca Bengal.

Di Lambung Ibu. Terguncang-guncang dalam tawa dan kesedihan Tertatih-tatih tapi tak merana kesepian Merasakan detak berkepanjangan  sepanjang gelora jiwa sepanjang gelora cinta sepanjang lara Perih merintih kala menyapih memugut napas-napas mimpi nan terburai pecah bukan  serpih-serpih itu menusuk perih menahan seburat rasa demi asa di lambung ibu terpekik rindu menggelung syahdu di lambung ibu,  ;tawa sedih, luka, ceria, merana hambur menghambur  lantas menyubur. Cikarang, 29-November-2016 ( Rosi Ochiemuh) ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~   Kaca Bengal. Bisik-bisik beraroma bengis meringis debu-debu kebencian menghambur  menyembur  seperti virus menyubur Hati tak lagi sebening kaca karat-mengarat tak jelas rupa entah kawan atau lawan pecah pigura kepahlawanan ingin kutabur gugur bunga di taman kebencian dan provokasi biarlah mereka dianggap mati tak berhati mati nurani. gelap-menggelap kebodohan berkibar sepanjang jaman kecanggihan berkaba

[CERPEN] "MATA-MATA HITAM" : Karya; Rosi Ochiemuh.

( Dimuat di Koran Harian Amanah, Edisi Hari Sabtu, 15-Oktober-2016)  Mata-mata hitam kecil bermunculan dari irisan daging sapi tanpa tulang yang baru akan diirisnya. Yatmo membelalak histeris dengan penampakan itu. Merasa ada yang ganjil dengan daging yang akan diolahnya, segera dia memanggil Keken—istrinya yang sedang menyusui bayi mereka di kamar.             “Bu! Kamu harus lihat. Daging ini aneh, bermata hitam, hidup, banyak sekali!” teriak Yatmo panik.             “Apa sih, Pak? Daging itu biasa saja, nggak ada mata atau apa pun,” jawab Keken memeriksa irisan daging dengan teliti. Yatmo mengucek mata lagi. Namun daging itu masih bermunculan mata-mata kecil. Seperti mata manusia bentuknya namun berukuran kecil, hitam dan berkedip-kedip. Yatmo makin ketakutan lantas pergi meninggalkan dapurnya. Keken terbengong dengan tingkah suaminya.             Yatmo seorang penjual bakso yang terkenal paling lezat di kota B. Hingga dia membuka dua cabang di kecamatan dan dikelola

Cerpen Judul : MANTRA KAKI UBAK (Oleh : Rosi Ochiemuh)

Kaki Ubak di atas lumpur pematang sawah begitu gesit berjingkat, menginjit bahkan melompat. Tak peduli bajunya bernoda lumpur, tak perduli lintah dan parasit lainnya menempel di kaki hingga ke lutut. Hanya satu yang ada dipikirannya; sawahnya bisa ditanam padi dengan baik, meski kemarau panjang di tahun dua ribu lima belas.             Bahkan Ubak lupa pemberitaan kebakaran lahan gambut yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Udara pagi berkabut asap yang tidak sejuk bisa tumbuh bibit penyakit asma, sakit tenggorokan dan sesak napas. Tapi Ubak selalu bersemangat untuk menanam bibit padinya hanya demi menikmati beras tanaman sendiri. Menjual beras dari hasil panen sendiri pun tak lantas menjadikan Ubak—petani kaya. Hanya mendapat harga yang minim. Hingga U mak sering mengeluh bagai kaleng yang tertabuh.             “Lebih baik Ubak ikut Bang Juroh kerja di pabrik karet atau sawit. Jual sawah kita! Daripada menyawah, hanya cukup untuk makan saja,” keluh Umak.             Aneh

Drama Hidup & Hujan

Aku suka hujan. Karena hujan bisa membungkam orang-orang yang menyebalkan. Hujan bisa menutup keangkuhan manusia. Hujan bisa memberi manfaat manusia. Tapi, aku menyukai hujan karena suaranya yang bising itu bisa mengalahkan suara yang lain. Suara orang-orang yang menyebalkan. Kemacetan yang tersebab karena genangan hujan itu adalah cara Tuhan membungkam kesombongan manusia moderen. Manusia kota yang tak punya otak, nuraninya tumpul. Aku benci jalanan kota, meski aku sering melewatinya. Karena hanya jalanan itulah aku bisa mencari nafkah. Yang sebenarnya mengecewakan. Aku kecewa pada sikap buruk dan mental pecundang pemimpin itu. Mereka hanya bisa marah-marah, mengungkit kesalahan karyawan yang sering salah, dan bahkan memperburuk suasana dengan memotong gaji sembarangan. Mereka bukan tak mau memecat langsung, tapi mereka gengsi untuk mengakui bahwa karyawan lama itu turut andil memajukan perusahaan mereka. Jika mereka mempekerjakan karyawan baru, pasti akan banyak makan wakt

[Cerpen] Hanya Sebongkah Batu

Sebongkah patung batu itu tiba-tiba berkedip matanya. Dia terkejut. Sekali lagi matanya mengerjap-ngerjap. Seolah dia merasa ada yang salah dengan pandangan matanya.  Bukan cuma mata yang berkedip, kali ini bibirnya bergerak-gerak. Dia terbelalak. Entah mimpi atau bukan. Dicubitnya lengan sendiri. Tidak! Dia tidak bermimpi. Ini nyata. Patung batu itu mata dan bibirnya berkedutan.  "Hei! Lihat apa, Kamu?!" Patung itu bersuara. Bicara padanya. Kakinya serasa ingin mengeluarkan jurus langkah seribu. Tapi dia terkejut lagi saat akan menggerakkan kedua kaki. Kakinya membeku, kaku. Tak bisa bergerak, dan serasa ada yang menahan. "Apa Kamu tuli?!" seru patung batu di hadapannya lagi.  Matanya terbelalak kacau. Pikirannya kacau, hatinya lebih kacau.Dia tak bisa bergerak. Tiba-tiba sepatunya mengeras. Persis seperti batu. Warna abu-abu hitam. Patung batu berwujud seorang kakek tua berjenggot, berjubah dengan tangan bersedekap itu semakin mirip man

Perempuan Rombengku.

Merah menjelma di wajahku yang lusuh Kala jemariku mengepal bagai bulatan batu, rusuh Kau tahu kenapa? Selintingan tajam menyentil gendang telinga Serupa aroma busuk menjelma Rupa bidadari berbibir dua belas Wajah dua belas bergantian bagai topeng tiap menitnya Bibir dan lidahnya dua belas Berdentang-dentang menggema Lanjutkan menghempas Ingin kujahit bibir dan lidahnya jadi satu Menjadi gagu dan tuna rungu Dalam seminggu itu Bak seorang host gosip yang hist. Paling pandai bersilat lidah Meski dua belas bibir dan lidahnya. Kenapa kepalanya tak dua belas saja? Biar semua takut Dia ciut Mengerucut Tak besar kepala Juga perut Yang ternyata berisi benihku Kutanam saham di sana Tiada sengaja Dan terbina rumah tangga Alakadarnya Ah, merah wajah lusuhku Dan kepalan jemariku bagai batu pun kaku Entahlah Tiba-tiba semua kelu Saat berhadapan di mukanya Telingaku terpasang terpaksa Tuk dengarkan ocehan rombengnya Kaleng karat Bibir dua belas. Berceloteh r

Membaca Sesuatu Yang Langka.

Hari buku kemarin. Semua di beranda facebook, twitterku selalu bertema tentang buku. Kuis buku ramai menawarkan hadiah buku cuma-cuma hanya dengan melike status info, bagikan, dan komentar seputar buku. Buku-buku yang ditawarkan sungguh membuat mata ngiler . Betapa tidak, bukunya judul dan penulisnya sudah BestSeller. Siapa yang tidak mau, hayo? Aku tertarik. Dan terima kasih banyak kepada teman-teman FB penulis yang tag namaku. Ternyata banyak. Alhamdulillah masih diinget mereka dalam hal berbagi manfaat. Sayangnya kesibukan di kantor, pulang molor sampai rumah. Belum lagi memenuhi hak balitaku, dan tubuhku, hingga tak sempat ikutan. Hanya like saja status dari mereka. Hari Buku telah berlalu kemarin. Euforia buku di beranda FBku masih terasa juga. Maklum, aku banyak berteman dengan penulis dan penerbit. Hehe. Bukan apa-apa, ini demi menunjang hobi yang senang nulis, dan baca. Mereka selalu menyajikan hal-hal yang menarik untuk dibaca, disimak di berandaku tentang status mereka di F

HASRAT MEMBACA BUKU TERUSLAH MENGALIR.

Antara kejenuhan dan imajenasi. Buku adalah sarana untuk berlayar ke segala penjuru dunia. Menggali ilmu dengan membaca pengetahuan yang termaktub dalam kertas berjilid-jilid bernama buku. Aku bisa mengeja huruf dan membaca sejak kelas tiga SD. Itu adalah anugerah terbesar dalam hidup. Kedua orang tuaku amat sangat bersyukur. Sampai mencium kening dan pipi karena sudah bisa membaca. Mereka merasa lega, meski masih menjadi buah pikiran lagi. Yakni aku harus bisa menghitung dan menulis. Setelah bisa membaca saat duduk di sekolah dasar itu. Aku mulai lebay untuk membaca setiap apapun. Terlebih kata-kata juga kalimat yang terpajang di jalanan. Seperti di sekolahan, papan reklame & banner, lalu plat alamat rumah orang-orang yang ada di depan pintu mereka. Serasa senang dan nikmatnya bisa membaca.  Ada yang membuatku terkenang ketika sedang senang-senangnya membaca itu terjadi waktu smp. Bungkusan koran dan majalah bekas untuk bungkusan alas makanan gado-gado --dagangannya--