Kaki Ubak di atas lumpur pematang sawah begitu gesit berjingkat, menginjit bahkan melompat. Tak peduli bajunya bernoda lumpur, tak perduli lintah dan parasit lainnya menempel di kaki hingga ke lutut. Hanya satu yang ada dipikirannya; sawahnya bisa ditanam padi dengan baik, meski kemarau panjang di tahun dua ribu lima belas. Bahkan Ubak lupa pemberitaan kebakaran lahan gambut yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Udara pagi berkabut asap yang tidak sejuk bisa tumbuh bibit penyakit asma, sakit tenggorokan dan sesak napas. Tapi Ubak selalu bersemangat untuk menanam bibit padinya hanya demi menikmati beras tanaman sendiri. Menjual beras dari hasil panen sendiri pun tak lantas menjadikan Ubak—petani kaya. Hanya mendapat harga yang minim. Hingga U mak sering mengeluh bagai kaleng yang tertabuh. “Lebih baik Ubak ikut Bang Juroh kerja di pabrik karet atau sawit. Jual sawah kita! Daripada menyawah, hanya cukup untuk makan saja,” keluh Umak. Aneh
Jika isi kepalamu sedang penuh, maka menulislah. Karena menulis adalah berbicara dengan diam dan pemikiranmu berjalan tertuang.