Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2017

Cerpen : RUANG SEPETAK ( Karya : Rosi Ochiemuh )

Oleh : Rosi Ochiemuh. Mendekati rumahnya, terdengar suara berisik bersahutan. Parman nampak tenang karena sudah terbiasa. Setiap hari dalam ruang sepetak yang dihuni bersama istri dan kelima anaknya adalah sebuah kisah pelik dalam hidup Parman. Hidup seperti itu di mata para tetangga sangatlah kejam. Tapi mereka—tetangga—kebanyakan teori tanpa ada aksi apa pun untuk meringankan keadaan hidup Parman. Hanya bisa berbisik-bisik di belakang, di samping, di depan, tentang kehidupan lelaki itu. Sepetak kontrakan dihuni satu keluarga. Bersama istri dan kelima anaknya. Tidur, makan, memasak, dalam satu ruangan, hanya bersekat dinding lemari pakaian. Untunglah kegiatan mandi dan buang hajat dilakukan di kamar mandi terpisah, menyampur dengan penghuni kontrakan lain. Ada yang memandang sebelah mata, iba dan bahkan tetangganya merasa terusik karena tidak bisa tenang bertetangga dengan mereka. Karena suara berisik, teriakan dari istri dan kelima anak-anak Parman. Kenyataan begitulah kehidupan

Puisi ( Gerah Melambung )

Gerah Melambung. Kubuka beranda sosial di sepanjang media mirip pasar ramai berjumpalitan tiada berdamai semakin berjbaku dan kukuh. Pelangi seakan tak ingin kembali melukis langit bumi bintang-bintang di malam hari sembunyi dibalik gulita seakan terkunci dan bersumpah tak ingin berkedap-kedip di langit sana Langit mual berhari-hari selepas ditinggalkan mentari yang mengungsi menghujani air mata kegelisahan dan menari-nari di atas keresahan bumi fatamorgana Gerah hingar bingar dunia dalam berita negeri dalam kotak segiempat ketat yang padat terjungkal di ujung tanduk bahaya Akhir... Tiada menyadari akan ada akhir.... mereka tetap melaju lesat bak meteor di angkasa, lalu jatuh di sana hancur terceburai Carut marut tak berbuntut makin panjang logika orang-orang pintar berkelakar tiada kelar hingar bingar itu pada kancah dunia dalam berita negeri dalam kotak segiempat yang padat tak seindah warna-warni cahayanya. tak selebar daun keladi semakin hari semakin jadi paro

Puisi (Malam)

Langit-Langit Tak Berbintang Suara detak jam menemaniku untuk menulis puisi telah lama mati imaji selepas dengan semangat kurangkai fiksi-fiksi seperti puzle yang disatukan dengan hangat Melupakan kepenatan sejenak bersama irama sunyi di pelupuk hati dengan menulis puisi terdengar serak-serak merangka patah-patah tiada mulusnya lepas itu aksaraku mengering ada kantuk yang menggenang di kedua pelupuk mata berhenti menulis puisi Kupandangi langit-langit kamar dengan nanar seolah-olah di atas sana ada lukisan rasi bintang bertaburan. Ini malam yang ganjil dan menggigil tak ada bintang di langit-langit kamarku kudiam dalam detak jam panggil-panggil jiwaku tuk segera terlena dibuaian malam dan di langit-langit kamar tak ada bintang-bintang. tiba-tiba kulihat bintang berpusing di atas kepalaku. Cibitung, 18/02/2017.

Puisi (Langit)

Di Bawah Kolong Langit Ketika semua berlomba rebutan kursi kekuasaan. Jual apa saja demi satu tiket menuju parade obral janji-janji berpayung panji-panji Kepala-kepala di sebuah negeri dipertaruhkan persekongkolan priyayi, orang suci, orang pintar, orang kaya, bahkan iblis sekalipun tak tampak wajah kemaluan bercahaya hanya sketsa bermuka dua yang apik bersandiwara Obralan janji tersemai dalam impian kepala-kepala rakyat jelata. Di bawah kolong langit ini, Tuhan! Sang penjilat, dan penggila kekuasaan berlomba-lomba mempermainkan kepala-kepala rakyat jelata dengan tega. Di bawah kolong langit ini, Tuhan! pencitraan dan dusta melarut dalam gumpalan topan yang siap sedia menghancurkan kami semua!! Apa hebatnya merebut kuasa di kolong langit-Mu?? Apa hebatnya bersekutu dengan keburukan musuh-Mu?? Hanya untuk duduk di kursi-kursi kekuasaan di kolong langit milik-Mu ini. tiada berkaca bahwa di atas langit masih ada langit! Di bawah bumi masih ada bumi. Dan mereka seburuk-bur

Puisi (TigaRupa)

Mata Kelana. Detik-detik di persimpangan waktu kutermangu dalam bilangan ambigu tak bertemu ujungnya alasan hidup masih berjalan alasan napas masih berembus perlahan tak sesak mendesak Kuberikan hidup pada malam yang seharusnya telah terjaga bola mata berputar menekuri ruangruang labuhan menganga seolah diajak melanglang buana ke samudera sebingkai mata. tak terdengar napas kesunyian di tengkukku atau di ujung telingaku seperti pengingat waktu bahwa malam telah melarutkan diri ini dan segera mungkin tuk pejamkan mata. bukan meronda tak pula meronta untuk dipinta turut pada aturanmu duhai malam. diam-diam desau angin berbisik pada telingaku : "Puan, di seberang sana. Kekasihmu sangat merindukanmu. Katanya, pejamkanlah mata. Seumpama tertidur, dia akan datang ke alam mimpi." Geming... demi bisikan angin tadi, kupejamkan kedua mata ini menanti datangnya kekasih di alam mimpi. Cibitung, 19-Februari-2017. **** Permata Hati. Dia tergelak riang dalam gurauanku