Penulis : Rosi
jumnasari, Nama pena : Rosi Ochiemuh. Buku
perdana; Kumpulan cerpen Sesuatu di Kota Kemustahilan (Penerbit
LovRinz Publishing Februari 2018). FB : Rosi Ochiemuh, IG: @ochiemuh,
Twitter : RJumnasari.
Malam Minggu ini kafe sepi
pengunjung. Denting-denting riuh lemari kafe tampakkan gelisahnya. Saya
menunggu seorang pengunjung tetap, yang dulu sering menempelkan bibirnya pada
tubuh saya, juga jemarinya yang lentik itu. Namanya Astrid. Dia selalu datang
sendiri, membawa tas laptopnya kemudian berlama-lama dalam kafe hanya untuk
menulis di laptopnya. Tempat duduknya dekat jendela sebelah kanan ujung.
Sebelum datang rupanya dia sudah memesan tempat duduk paling strategis itu di
sini melalui telepon.
Aroma stroberi dari lipblam di bibirnya menguar, menyegarkan
dan manis meski yang diminum bukanlah sejenis jus buah juga sirup. Tapi, kopi
hitam manis. Kue yang dipesannya hanya kue pie keju. Kontras dengan aroma lipblam yang dipakai di bibirnya. Saya
menyukai lekuk bibirnya simetris dan penuh. Seksi sekali. Saya panggil dia,
Nona Astrid
Lampu-lampu kafe ketika malam dinyalakan temaram, diganti
lilin-lilin aroma terapi yang romantis. Itulah konsep yang dipakai oleh pemilik
kafe ini. Saya bagian terkecil dari kafe ini. Kami bahagia jika para pelanggan
datang memilih di antara kami. Saya termasuk yang beruntung saat itu dipilih
oleh Nona Astrid.
Jemarinya bermain anggun pada tusts keybord laptopnya. Tapi satu hal
yang buat saya bertanya-tanya tentang air mukanya, kenapa begitu muram? Penjelajahan
jemarinya di atas laptop itu menghasilkan dua bola mata yang berkaca-kaca.
Sesekali menghidu saya dan aroma kopi hitam pesanannya itu. Lalu menarik napas
panjang terus dihempaskan dan menulis lagi sesuatu, mungkin perasaannya dalam
layar laptop yang menyala itu.
Saya bisa membaca apa yang
dituliskannya. Semacam tulisan harian tentang dirinya. Sedikit sedih membaca
perasaannya tentang bagaimana dia menulis kesetiaannya pada kekasihnya bernama
Biyan. Dia menuliskan kenangan menyakitkan tentang Biyan. Lalu perselingkuhan,
dan beberapa pengkhianatan yang buat dia hampir mencoba menghampiri hidup.
Di ruangan kafe ini, ada satu pria
yang selalu memperhatikannya. Pria itu seorang barista 2, matanya tajam dan
senyuman menawan. Saya dibuat cemburu olehnya, berharap Nona Astrid tidak
tergoda padanya.
“Permisi Nona. Saya, Deri. Anda
seorang Penulis?” tiba-tiba pria menyebalkan itu menghampiri Nona Astrid,
sambil mengantarkan pesanan kue. Kejadiannya empat hari lalu. Itu membuat saya
tidak tenang.
“Oh, terima kasih. Kopi buatan Anda
nikmat sekali. Saya Nona Astrid. Saya bukan penulis. Semacam menuliskan diary
saja,” jawab Nona Astrid. Saya di antara mereka begitu risih. Saya semakin
cemburu karena itu.
“Oh, tentu. Jika Nona Astrid suka.
Saya buatkan yang terbaik dan kasih free
untuk nona secantik Anda,” ujar si Deri dengan gombalannya.
“Terima kasih, Deri. Tidak usah
repot-repot,” sahut Nona Astrid tersipu malu.
Sejak itu mereka
semakin dekat. Nona Astrid jarang sekali datang. Sekalinya datang dia sudah
bersama pria itu. Mereka semakin karib. Saya cemburu, tapi melihat rona bahagia
di wajahnya buat saya ikut bahagia. Tidak apalah, saya tetap jadi pemuja dan
pencintanya diam-diam. Dia, Deri, bahkan seisi ruangan kafe ini tidak pernah
tahu bahwa saya sudah jatuh cinta pada Nona Astrid, pelanggan setia saya dulu.
Apalah saya, hanya sebuah gelas mug ekslusif yang hanya
orang-orang tertentu diizinkan memakai saya. Denting-denting gelas kafe
bergantian, berbicara, bergembira dan hanya saya yang bisa memahami mereka.
Karena saya sebuah gelas. Mungkin suatu hari nanti akan ada seorang pelanggan
di kafe ini yang mencintai saya apa adanya. Pandangan saya tertuju pada sosok
gadis berkacamata kotak, lalu menunjuk saya untuk digunakan barista. Saya
berdenting kegirangan dalam sepinya kafe.(*)
City Walk Lippo
Cikarang, 14-Oktober-2019
*Catatan.
Cerpen mini ini diikut lombakan ke Lomba Penerbitan Anlitera di Instagram tahun 2019. Cerpen ini terpilih sebagai kontributor. Sayangnya, mereka memaksa harus membeli sebelum ditentukan juara lombanya. Dengan harga yang menurut saya fantastis untuk ukuran buku kumpulan cerita. Informasi data masuk naskah lomba dengan informasi berapa yang lolos lomba pun tidak jelas di wibesitenya. Maka dari itu saya tidak membeli bukunya. Baik buku puisinya juga. Lalu tentang e sertifikat pun harus didapat dengan membeli buku tersebut, dan buku tidak akan dicetak lagi jika habis. Merasa janggal dan selama saya ikut event menulis selalu bertemu dengan Penerbitan Indie maupun Mayor yang nyaman dan jelas info lomba serta jelas tujuan lomba. Harga buku kontributor pun tidak semahal yang diadakan. Serta e-Sertifikat kontributor pun gratis.
Komentar
Posting Komentar