Langsung ke konten utama

Apa Kabar, Semesta Jiwamu?

Sesekali bisakah aku memeluk diriku dengan baik, tanpa membutuhkan tubuh siapapun? 

Selama ini, memikirkannya saja sudah buat aku bahagia. Tentu, karena dua tahun belakangan ini aku merasa situasi tidak baik-baik saja walau ucapanku pada tiap orang aku baik-baik saja. 

Entah pertemanan di dunia maya, selalu membuat aku merasa tidak ada yang tulus meski postingan mereka tampak mulia dan tebar kebajikan. Contoh pertemanan di dunia maya yang tak berkesinambungan dan kamuflase adalah : Akun sosial media yang punya pertemanan 2000 ~ 5000 akun berbeda. Mungkin hanya 1 ~ 10 akun yang benar-benar menganggap teman seolah di dunia nyata. Hanya 5% saja dari 1000% yang benar-benar peduli, tulus, dan apa adanya. Selebihnya, akun-akun itu hanya butuh pencapaian popularitas, pengakuan, dan sebagai akun untuk mencapai obsesi demi bisa terus pamer. 

Aku sadar, di dunia nyata pun sering menemui orang-orang yang hanya ingin mengambil keuntungan saja saat berhubungan denganku. Entah itu hubungan keluarga, teman, bahkan rekan kerja. Tidak ada yang benar-benar tulus kecuali kedua orangtuaku sendiri. 

Hidup terasa seperti hubungan timbal balik. Aku butuh kamu, kamu butuh aku. Kita dekat karena saling membutuhkan. Jika salah satu tidak bisa dibutuhkan, maka sampai di situ saja sebuah hubungan sosial yang baik. Aku merasa seperti itu setiap berhubungan dengan orang-orang sejak bertambahnya usia dewasa, enam belas tahun lalu. 

Kupikir semakin kemari bertambahnya usia akan membuat pemahaman ini berubah dan tanggapan kepada orang-orang akan berubah. Ternyata semakin bertambah usia, semakin terbuka mata dan sensitifnya hati. Kita akan tahu siapa yang tulus dan tidak ketika usia semakin tua. 

Aku pernah jatuh berkali-kali. Kecewa berkali-kali, sakit berkali-kali, bahkan disaat usia masih belia. Penilaian mata batin kepada orang lebih peka dan waspada. 

Pernah membaca dan mendengar kalimat dari orang bijak. Begini bunyinya, "jadilah orang baik, meski tidak ada yang baik kepadamu." Kalimat berikutnya yang kudengar, "berbuat baiklah tanpa mengharap balasan." 

Kalimat pertama yang agak janggal di pikiranku. "Jadilah orang baik, meski tidak ada yang baik kepadamu." Maksud kalimat bijak itu mengarah kepada kebaikan yang hakiki. Namun, apa alasannya kita berbuat baik pada orang yang tidak baik kepada kita? Pikirku, betapa bodohnya ajakan kalimat bijak itu. Jika mengikutinya, apa yang didapat kalau bukan kerugian. Orang baik seperti itu akan jadi makanan para serigala dan manusia buas di Bumi. 

Kalimat orang bijak kedua, "berbuat baiklah tanpa mengharap balasan." Kalimat ajakan yang paling bodoh dan naif. Manusia sejatinya makhluk sosial yang naif, makhluk sosial yang murni menggilai sanjungan, pujian dan pengagum keindahan. Jika mengikuti ajakan kalimat bijak ini, maka jadilah dia seperti lilin yang menyala. Rela terbakar demi bisa menerangi sekitar dan menghabiskan dirinya tanpa bisa menikmati keinginan sendiri. Betapa naif dan munafik. Jika begitu, Malaikat pun tidak mau melakukannya karena malaikat hanya melakukan tugas yang monoton dari Tuhannya. Benar bukan? 

Malaikat tidak pernah melakukan kebaikan di dunia. Malaikat hanya melakukan satu tugas yang sudah diwajibkan Tuhannya sampai hari kiamat. Jadi, jika manusia berhati baik dikatakan malaikat, sangat salah. Karena manusia bisa melakukan berbagai tugas yang diwajibkan oleh Tuhannya bahkan lebih dari malaikat. Hanya, manusia diberikan dua rupa dalam jiwanya. Nafsu dan akal. Malaikat tidak punya keduanya. 

Manusia tidak bisa melakukan kebaikan tanpa pamrih, jadi mustahil. Karena di hatinya paling dalam pun tersembunyi keinginan dari nafsunya. Mematikan nafsu sama halnya membuat manusia jadi mayat hidup. Mematikan akal sama halnya menjadikan manusia jadi gila. Keduanya penting dan kebaikan mustahil dilakukan tanpa pamrih. Manusia ingin mendapatkan pahala yang menghantarkan mereka ke surga. Apakah itu bukan karena pamrih? 

Apa yang kutulis di atas sebagian pemikiranku. Entahlah pikiran orang-orang setelah membaca tulisan dalam blog pribadiku ini. 

Sesekali ingin memeluk diri sendiri ketika suasana hati tidak bersahabat dengan orang terdekat. Tidak bersahabat dengan orang terkasih. Sedih memang, tapi sebisa mungkin aku harus kuat karena ketika mati pun kita sendirian menghadapi malaikat maut. 

Tulisan ini cenderung aneh memang ketika dibaca orang lain. Namun, aku menuliskannya dengan sangat jujur. Bahwa aku merasa kecewa dengan beberapa orang terdekat di dunia nyata dan dunia maya (sosial media). 
Hidupku masih berjalan dan berusaha untuk menerima kebaikan lain meski aku kecewa. Haruskah kutulis saja rasa kecewaku? Ternyata aku tidak bisa menuliskan kekecewakanku yang sebanyak itu dan berpuluh kali selama enam belas tahun belakang sampai hari ini. 

Tuhan selalu menyadarkan pemikiran negatifku dengan kejadian dan keajaiban kecil dari-Nya yang datang dalam setiap napasku. Entahlah, aku akhirnya menerima saja dan berpikir "Dia selalu menggantikan hal-hal kecil dari setiap kekecewaan hatiku" walaupun aku masih menyimpan rasa kecewa itu dengan lekat dalam kenangan dan perasaan. Mungkin karena aku tercipta sebagai perempuan. Jadi, perasaan hati ini sangat perasa hingga energi negatif lebih meresap daripada energi positif. 

Berusaha melihat ke depan tanpa menoleh ke belakang. Berusaha ingat kenangan indah daripada pahitnya, adalah usaha untuk tetap bisa berjalan ke depan menikmati sisa usia yang Dia berikan padaku. Terlalu obsesi untuk mendapatkan yang kuingin rasanya akan menghancurkan rasa syukur dan nikmatnya hidup yang kujalani tiap detik. Obsesi itu bisa membuat manusia saling bermusuhan, membenci, dan lahirlah penyakit hati yang sangat berbahaya. 

Aku ingin memeluk diriku, dan berkata dalam hati. Jangan lihat mereka, jangan ingat mereka yang berbuat buruk padamu. Jangan lihat mereka yang mengabaikanmu, bahkan memandangmu hina tanpa arti. Jangan lihat mereka. Lihatlah diriku, lihatlah wahai jiwa semesta dalam diriku. Ingin kupeluk erat diriku sendiri. 

Terima kasih jika sudah mencurahkannya. Kita memang perlu tempat untuk membuang, bukan sekadar menampung, bukan begitu? 

Kali ini langit sangat kelam tanpa taburan bintang, tanpa hiasan bulan, tapi Bumi masih berisik. Berisik sekali, zaman ini orang-orang hanya bisa berisik tanpa mau mendengarkan. Tidak bisakah keadaan malam di dataran ini seperti warna langit yang hitam, senyap, sunyi dan tenang? 

(02-Mei-2022) My Room. Rosi.JS. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

#GA_SAUJANA_HATI

RESENSI BUKU. . OLEH : ROSI OCHIEMUH. Judul Buku : SAUJANA HATI . Penulis : SuEff Idris . Jenis Buku : Novel ( Fiksi ) . Nama Penerbit : LovRinz Publishing . Tahun Terbit : Copyright © 2015, by SuEff Idris. . Tahun Cetak : Cetakan Pertama Februari 2015 . Jumlah Halaman : Viii + 298 Halaman. . Jenis Kertas : Book Paper . ISBN         : 978-602-72035-4-9 . Harga Buku : Rp. 59.000 . .  “Apakah cinta? Cinta barangkali memang bukan untuk dijelaskan, tapi dibiarkan mengalir apa adanya. Seperti dalam novel Saujana Hati, kisah tentang dua orang yang saling mencintai, tapi mereka tak saling mengungkapkan perasaan. Suatu saat ketika keduanya bertemu kembali, semua sudah terlambat.” .  Tokoh-tokoh dalam novel ini terbawa arus takdir yang tidak bisa mereka tolak. Beragam persoalan hidup; penyakit kronis yang diderita tokoh “aku”, cinta segitiga yang melibatkan kakak—adik, terkait pada nilai-nilai agama hingga kematian, diramu dalam bahasa yang cair, menyatu, indah, dan ditutup dengan akhir tak

[CERPEN] "MATA-MATA HITAM" : Karya; Rosi Ochiemuh.

( Dimuat di Koran Harian Amanah, Edisi Hari Sabtu, 15-Oktober-2016)  Mata-mata hitam kecil bermunculan dari irisan daging sapi tanpa tulang yang baru akan diirisnya. Yatmo membelalak histeris dengan penampakan itu. Merasa ada yang ganjil dengan daging yang akan diolahnya, segera dia memanggil Keken—istrinya yang sedang menyusui bayi mereka di kamar.             “Bu! Kamu harus lihat. Daging ini aneh, bermata hitam, hidup, banyak sekali!” teriak Yatmo panik.             “Apa sih, Pak? Daging itu biasa saja, nggak ada mata atau apa pun,” jawab Keken memeriksa irisan daging dengan teliti. Yatmo mengucek mata lagi. Namun daging itu masih bermunculan mata-mata kecil. Seperti mata manusia bentuknya namun berukuran kecil, hitam dan berkedip-kedip. Yatmo makin ketakutan lantas pergi meninggalkan dapurnya. Keken terbengong dengan tingkah suaminya.             Yatmo seorang penjual bakso yang terkenal paling lezat di kota B. Hingga dia membuka dua cabang di kecamatan dan dikelola

DARI DUNIA LAIN [Cerpen Rosi Ochiemuh]

Cerpen dimuat pertama kali di Koran Radar Mojokerto Grup Jawa Pos. Edisi Minggu, 20 Oktober 2019. Bulan ragu-ragu muncul di pekatnya malam, aku terpaksa menjajakan bakso gantikan bapak yang sakit. Malam ini, selepas hujan turun sejak sore hingga isya, hampir setiap tempat yang dilewati sunyi. Dari kampung ke kampung. Dari jalan raya hingga menembus gang pada jalan lain. Tiba di sebuah jalan kecil remang cahaya pada deretan kontrakan petak empat pintu tertutup, satu pintu setengah terbuka. Terlihat gelap di dalamnya. Aku berpikir salah satunya mati listrik atau tokennya habis. Tidak ada yang aneh di pikiran ini. Tangisan anak kecil tiba-tiba terdengar di telinga. Dia duduk di samping pintu yang terbuka. Aku penasaran. Kenapa dilarut begini ada anak kecil belum tidur? Mungkin karena rumahnya gelap atau dalam ruangannya gerah, jadi pintunya dibuka separuh dan anak kecil itu belum bisa tidur, pikirku begitu. Aku berhenti tepat di depan kontrakan kecil itu.