Langsung ke konten utama

[CERBUNG] Mori Merindukan Mentari, Mengejarnya dalam Dunianya Sendiri. (Bag.1)

Oleh : Rosi Ochiemuh.

Awal bulan Januari yang basah, tahun baru Masehi ini mungkin sesuatu yang harus disyukuri Mori, setidaknya permukiman sekitar rumahnya tidak pernah tersentuh banjir selepas hujan deras. Karena tanah di tempat dia tinggal dataran tinggi yang juga punya pembuangan air got besar dan agak bersih. Itu dikarenakan juga perangkat desa setempat selalu mengadakan Minggu bersih-bersih kepada seluruh warga permukimannya, bahkan Pak Lurah itu ikut terjun langsung bergabung dengan para warga dalam hal bersih-bersih meski warganya kebanyakan berstrata menengah ke bawah.

Tapi sebetulnya dari hati terdalam Mori risau. Anak-anaknya yang dia tinggalkan untuk bekerja serasa kurang terurus. Sedih memang, namun bagaimana pun dia harus mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Dua anak dan satu orangtua yakni ibu mertuanya. Ketiga orang itu adalah tanggung jawabnya. Suaminya telah pulang menghadap Sang Khalik dua tahun lalu karena sakit kanker paru-paru. Perjuangan penyembuhan untuk penyakit mediang suaminya itu tidak pernah lelah, apa saja diusahakan meski harus meminjam uang pada bank demi biaya rumah sakit perawatan.

Sepulang dari kerja, anak sulungnya telah tidur pulas. Mori kadang merasa bersalah dengan anak sulungnya itu. Entah apa yang telah dilalui anak itu sejak pagi hingga ke sore tanpa ibunya? Juga anak keduanya yang masih balita, masih butuh cinta dan pelukan hangat dari ibunya. Mori tidak memberikan ASI namun susu formula sejak anak keduanya berusia satu bulan. Air susunya mengering seketika tanpa diduga, persis dengan anak pertama. Lantaran Mori sejak gadis sudah terbiasa bekerja di luar rumah. Tempat kerja yang memberikannya rezeki hingga dia bisa merasakan kebutuhan hidup tercukupi. Sampai telah menikah pun Mori tetap bekerja, tiada terasa bahwa apa yang telah dilakukannya jadi sebuah kebutuhan dan sebuah andalan dari mendiang suami. Sayang disayang, Mori harus terus bekerja pasca suaminya meninggal dunia. 

Terkadang hidup selalu memberikan kejutan-kejutan tidak terduga, Tuhan selalu tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya. Namun Mori merasa Tuhannya tidak adil sama sekali. Kenapa dia harus merasakan keadaan seperti itu sampai kadung akhir hayat? Apakah iya? Jiwa dan hatinya gelisah. Kesedihan ditinggal suami tercinta bukan lantaran rasa kehilangan, tapi sesuatu sesalan kenapa terjadi sebelum lelakinya membuat dia merasa berarti. Memberikan kebahagiaan yang seharusnya dia rasakan sebelum lelakinya diambil kembali kehadirat Illahi? Pertanyaan-pertanyaan membumbung tinggi dan membukus jadi segumpalan awan gelap di kepalanya. Gelap, segelap setiap sore ketika dia akan pulang kerja menyusuri jalanan penuh liku dan kemacetan selepas hujan deras di kota industri itu. 

"Kau tahu, aku berharap tidak ingin jadi perempuan sejak aku menikah," ucap Mori di depan foto mendiang suaminya. Malam itu, rasanya dia sangat merindukan mendiang suaminya. Mori ingin sekali berbincang-bincang mengenai perihal perasaannya, keluhannya, segala ganjalan hati yang dia simpan sebegitu lama. Semua ingin dia buncah, tapi hanya secuil kalimat terlontar bergetaran bersama dengan air mata yang mengalir deras di pipinya.

Januari yang menggigil, segigil jiwanya ketika sudah dicap sebagai janda. Statusnya yang selalu jadi kendala, kenapa dia menjadi janda secepat itu. Tanpa sebuah persiapan mental. Tuhan tidak pernah memberitahukan apa yang harus diperbuat-Nya, bukan? Mori berusaha tegar. Berusaha lebih kuat di hadapan siapa pun termasuk di hadapan ibu mertuanya yang mulai renta. Tidak sekalipun Mori ingin menyusahkan ibu mertuanya untuk menjaga dua buah hatinya, tidak. Keterpaksaan dalam keadaan yang pelik membuat dia melakukan itu.

Masih teringat dalam memori Mori tentang gerutunya dahulu sekali ketika jiwanya masih rapuh, sensitivitas pasca melahirkan selalu jadi alasan yang membuat dia berperasaan rapuh. Dia merasakan bahwa suaminya antara ada dan tiada baginya dalam berperan. Tidak ada yang bisa diandalkan dari lelaki yang selalu mengandalkan istri dalam hal ekonomi, pikir Mori. Pikirannya melesat lalu tembus ke dinding nurani paling dalam yang mengoyak-ngoyak pertahanan kesabarannya. Pun kebijakannya dalam memandang semua jadi hal yang positif, namun hancur seketika. Lebih baik lelaki itu tidak ada sama sekali dalam hidupnya dan keluarga daripada harus membuatnya bekerja keras, begitulah pikiran sesat selanjutnya bergentayangan sampai hatinya sesak.

Tuhan tidak pernah tidur, Dia mendengarkan semua doa-doa hamba-Nya bahkan sekecil apa pun kalimat kekesalan yang berujung doa dalam hati setiap hamba-Nya. Kun, terjadilah. Suaminya mulai merasakan sakit dalam kurun waktu sebulan, batuk yang tidak pernah sembuh sampai berobat di rumah sakit dan divonis kanker paru-paru stadium tiga. Mori merasakan batu besar sedang menghantam kepalanya dan dia ingin pingsan atau kalau perlu jangan bangun lagi mendengar vonis dokter tentang penyakit suaminya. Mori kembali bekerja lebih keras, meski ketakutan menggerogoti setiap persendiannya. Ketakutan akan kehilangan, karena dia masih sangat menyayangi suaminya.

"Mungkinkah di sana rumahmu ikut kebanjiran, Mas. Sudah tiga pekan kami tidak mengunjungimu," ucap Mori berdialog dengan foto mendiang suaminya. Air matanya meleleh kembali. Menyedihkan, pikirnya. Terkadang benci dan cinta itu beda tipis, itu yang dia rasakan.

"Aku bersyukur, rumah kita tidak kena banjir seperti permukiman lain di kota ini. Anak-anak masih sama, mereka masih ingat ibunya pun bapaknya, Mas. Tapi, anak-anak kita akan terbiasa juga mungkin tanpa ibunya setelah kamu pergi. Karena selama ini mereka sudah terbiasa tanpa ibunya, bukan. Aku sempat berpikir lagi, kenapa aku tidak ditakdirkan jadi laki-laki sepertimu. Dan kenapa tidak aku saja yang Dia ambil, bukan kamu? Tapi Tuhan sungguh adil, Mas. Dia mengambilmu terlebih dahulu, bukan aku. Jika aku yang diambil, pastinya anak-anak kita lebih menderita hidup dan masa depannya. Karena Tuhan lebih tahu dirimu seperti apa, daripada aku." Perkataan yang mungkin sudah sepuluh kali perempuan itu ucapkan sebelum tidur pada foto mendiang suaminya. Mori lalu mencium figura foto itu tiga kali dan meletakkannya dengan sembarangan.

Mori merebahkan tubuhnya di kasur perlahan di samping kedua anak-anaknya yang pulas. Dua kamar dalam rumah yang mungil itu tempat terakhir mereka dan tidak akan pindah-pindah lagi. Rumah mungil yang bisa dia beli setelah menjual rumah besarnya seminggu setelah suaminya meninggal dunia. Rumah yang besar itu mungkin mampu mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga kecilnya. Dengan itu, dia bisa melunasi hutang-hutangnya selama pengobatan suaminya di rumah sakit. Tidak ada saudara dan kerabat pun membantu. Dia simpan itu dalam hati; saudara dan kerabat yang diharapkan dekat serasa jauh, sedangkan orang jauh yang bukan sedarah terasa makin dekat. Ibu mertuanya sangat dekat, bahkan seperti ibu kandungnya sendiri. Mori sedih karena ibu mertuanya selalu memikirkan dia sejak menikah dengan suaminya.

"Maafkan, Ibu, Mori. Yuda tidak pernah membahagiakanmu. Ibu hanya bisa membantumu dengan apa yang Ibu bisa," tutur ibu mertuanya waktu itu saat Mori melahirkan anak keduanya. Suaminya belum kembali dari luar kota. Yang kata suaminya dulu berpergian untuk mencari proyek pekerjaan baru yang menjanjikan. Tapi selepas pulang dua hari kemudian, hasilnya nihil. Hanya buang-buang uang, waktu itu lelaki itu memakai uang belanja Mori, gaji bulanannya.

Maka dari itu, Mori bertahan dengan keadaan yang dia alami dari rumah tangganya. Itu semua karena ibu mertuanya yang selalu baik dan sayang padanya juga anak-anaknya. Jika ibu mertuanya tidak ada, Mori tidak akan bisa bertahan. Sejak anak keduanya lahir, Mori merasa semakin kuat mentalnya menghadapi semua masalah pelik rumah tangga. Dia tidak ingin meributkan hal kecil yang buruk terjadi dalam rumah tangganya. Tidak, dia hanya diam dan menjalani yang sudah harus dijalani. Kadang perempuan itu sampai dibilang sangat bodoh oleh teman kerjanya. Teman kerjanya merasa Mori adalah perempuan lemah dan pasrah. Namun justru Mori merasa dirinya lebih kuat dan yakin dengan sikap yang dia lakukan pasti akan membuat masalah tidak bertambah banyak.

"Seandainya aku jadi kamu, Mori. Tentu aku akan menuntut cerai!" Seru teman kerjanya. 

Mori menggeleng dan tersenyum sesaat, meski pikirannya untuk itu selalu ada namun selalu ditepis habis demi anak-anak dan ibu mertuanya. (*Bersambung..........)

Cikarang City, 09-januari-2020.

-------

Tulisan cerita bersambung pertama yang dibuat ini, semoga menjadi sebuah jalan untuk mengarang cerita yang panjang..... panjang sekali. 

Tertanda Penulisnya,


Rosi Ochiemuh.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

#GA_SAUJANA_HATI

RESENSI BUKU. . OLEH : ROSI OCHIEMUH. Judul Buku : SAUJANA HATI . Penulis : SuEff Idris . Jenis Buku : Novel ( Fiksi ) . Nama Penerbit : LovRinz Publishing . Tahun Terbit : Copyright © 2015, by SuEff Idris. . Tahun Cetak : Cetakan Pertama Februari 2015 . Jumlah Halaman : Viii + 298 Halaman. . Jenis Kertas : Book Paper . ISBN         : 978-602-72035-4-9 . Harga Buku : Rp. 59.000 . .  “Apakah cinta? Cinta barangkali memang bukan untuk dijelaskan, tapi dibiarkan mengalir apa adanya. Seperti dalam novel Saujana Hati, kisah tentang dua orang yang saling mencintai, tapi mereka tak saling mengungkapkan perasaan. Suatu saat ketika keduanya bertemu kembali, semua sudah terlambat.” .  Tokoh-tokoh dalam novel ini terbawa arus takdir yang tidak bisa mereka tolak. Beragam persoalan hidup; penyakit kronis yang diderita tokoh “aku”, cinta segitiga yang melibatkan kakak—adik, terkait pada nilai-nilai agama hingga kematian, diramu dalam bahasa yang cair, menyatu, indah, dan ditutup dengan akhir tak

[CERPEN] "MATA-MATA HITAM" : Karya; Rosi Ochiemuh.

( Dimuat di Koran Harian Amanah, Edisi Hari Sabtu, 15-Oktober-2016)  Mata-mata hitam kecil bermunculan dari irisan daging sapi tanpa tulang yang baru akan diirisnya. Yatmo membelalak histeris dengan penampakan itu. Merasa ada yang ganjil dengan daging yang akan diolahnya, segera dia memanggil Keken—istrinya yang sedang menyusui bayi mereka di kamar.             “Bu! Kamu harus lihat. Daging ini aneh, bermata hitam, hidup, banyak sekali!” teriak Yatmo panik.             “Apa sih, Pak? Daging itu biasa saja, nggak ada mata atau apa pun,” jawab Keken memeriksa irisan daging dengan teliti. Yatmo mengucek mata lagi. Namun daging itu masih bermunculan mata-mata kecil. Seperti mata manusia bentuknya namun berukuran kecil, hitam dan berkedip-kedip. Yatmo makin ketakutan lantas pergi meninggalkan dapurnya. Keken terbengong dengan tingkah suaminya.             Yatmo seorang penjual bakso yang terkenal paling lezat di kota B. Hingga dia membuka dua cabang di kecamatan dan dikelola

DARI DUNIA LAIN [Cerpen Rosi Ochiemuh]

Cerpen dimuat pertama kali di Koran Radar Mojokerto Grup Jawa Pos. Edisi Minggu, 20 Oktober 2019. Bulan ragu-ragu muncul di pekatnya malam, aku terpaksa menjajakan bakso gantikan bapak yang sakit. Malam ini, selepas hujan turun sejak sore hingga isya, hampir setiap tempat yang dilewati sunyi. Dari kampung ke kampung. Dari jalan raya hingga menembus gang pada jalan lain. Tiba di sebuah jalan kecil remang cahaya pada deretan kontrakan petak empat pintu tertutup, satu pintu setengah terbuka. Terlihat gelap di dalamnya. Aku berpikir salah satunya mati listrik atau tokennya habis. Tidak ada yang aneh di pikiran ini. Tangisan anak kecil tiba-tiba terdengar di telinga. Dia duduk di samping pintu yang terbuka. Aku penasaran. Kenapa dilarut begini ada anak kecil belum tidur? Mungkin karena rumahnya gelap atau dalam ruangannya gerah, jadi pintunya dibuka separuh dan anak kecil itu belum bisa tidur, pikirku begitu. Aku berhenti tepat di depan kontrakan kecil itu.