(Cerpen ini dimuat pertama kali di koran Radar Mojokerto, grup JawaPos, Minggu, 20 Februari 2022)
***
Hujan mengguyur sejak Subuh. Aku benci hujan, seakan dipenjara saat hujan deras. Tak bisa ke mana-mana, tak bisa mendekati Maya, si cantik incaranku sejak dulu. Aku berdua saja dengan perempuan tua ini, bosan sekali.
Perempuan tua ini berulang-ulang cerita padaku tentang anak kesayangannya yang telah sukses hidup di luar negeri. Juga bercerita tentang mendiang suaminya yang PNS. Sampai akan menutup cerita, dia lalu sesenggukan di kursi goyang. Aku tak tega meninggalkannya seperti itu.
Meski sekarang dia hidup sendiri, perempuan tua ini masih punya uang untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Memberiku makan tiga kali sehari, hingga aku bisa semontok dan setampan ini.
Terdengar jejak langkah kakinya mendekatiku. Dia memakai longdress, wajah riasan tipis, rambut putih sebahu dikuncir belakang, aroma parfum tercium dari jauh. Dia hempaskan pantat kurusnya ke sofa empuk ruang tamu, warna ungu tua. Dekat jendela yang berembun dingin oleh uap hujan.
“Delon! Kupikir kamu di mana. Rupanya disini memandangi hujan, ya. Oh, hujannya sejak Subuh sampai pagi belum reda. Kasihan … Kamu mau ke luar, ya?” ujarnya berdecak, tangannya mengelus kepalaku.
Namaku Delon. Dia suka berceloteh jika bertemu denganku. Seolah aku ini anak-anaknya yang dia rindukan itu. Ditambah lagi, dia tahu apa yang kupikirkan. Perempuan tua ini jadi mirip cenayang.
Bagaimanapun aku tetap diam di sofa sebelahnya. Memandangi hujan sambil menghangatkan kaki dan tangan. Perempuan tua ini seolah punya kulit yang tebal. Dia tidak merasa kedinginan sama sekali, padahal sudah tua. Pakaian yang dipakainya terlihat jengah, mengapa tidak pakai baju hangat saja. Sungguh di dalam sini udaranya dingin, apalagi di luar sana.
“Hari Minggu ini sebenarnya, aku mau ajak kamu ke rumah Nyonya Ida. Dia kemarin mengundangku untuk perayaan hari ulang tahunnya. Katanya, anaknya yang merayakan. Aku jadi iri. Jangankan ingat hari ulang tahunku, anak-anakku itu tidak satu pun ingat kabarku. Menelepon pun tidak, bahkan berkunjung pun tidak. Katanya di luar negeri mereka sudah sukses tapi tidak pernah mengajakku bersama mereka, apalagi mendatangi rumah ini,” celotehnya lagi. Pandangannya lurus ke luar jendela.
Kutatap kedua mata itu. Di sana, terlihat kosong dan berair. Semakin lama aku yakin dia akan buncah seperti yang sudah-sudah. Ah, cuaca dingin seperti ini melankoli sekali, pasti kesedihan sedikit apa pun akan terasa menyakitkan. Anehnya, aku tidak pernah memikirkan siapa orangtuaku. Mengapa aku dibuang? Biasa saja. Sekarang buktinya aku montok, gemuk, dan tampan. Semua yang melihatku termasuk anak tetangga kami yang masih balita suka padaku. Katanya, “menggemaskan” yang diakhiri menarik kedua pipiku.
Selagi dia baca koran. Aku gegas ke belakang mencari jalan untuk ke luar. Sudah cukup berada di rumah sejak pagi. Aku mau dekati Maya, di kompleks sebelah kiri samping pangkalan tukang sayur. Dia selalu duduk di sana dengan Ceri, anak perempuan usia sepuluh tahun itu.
Baru saja kaki kecilku melangkah, dia menegurku, “Delon, mau ke mana? Mau cari betina lagi?” Matanya melirikku lalu berbalik ke jendela.
“Oh … Hujan telah reda. Keluarlah. Aku di sini saja, bermalasan di rumah.”
Rasanya lega, jika perempuan tua itu berkata demikian. Aku ke luar jalan-jalan, cari udara segar. Sepanjang ke luar rumah hingga ke jalan depan, suasana sepi. Maklum selepas hujan. Tetangga kanan-kiri menutup pintu. Kompleks perumahan ini terlihat seperti pemakaman. Sunyi, mungkin karena rumah mereka tidak sedinding. Ada beberapa jarak dari rumah satu ke rumah lainnya.
Rumah perempuan tua itu paling besar dari yang lain. Rumah peninggalan mendiang suaminya, tapi rumahnya sudah harus dicat ulang. Dipangkasi rerumputannya, dan dirapikan halamannya agar terlihat tidak seram karena rumahnya serupa rumah tua. Dari jauh, perempuan tua itu membuka jendela dan pintu rumahnya.
Di depan kulihat ada dua orang naik motor berpenampilan masker hitam hampir menutupi wajah. Jalan celingukan, sambil mengamati sekeliling kompleks. Suasana masih sepi. Tukang sayur yang sering mangkal tidak ada di tempatnya. Juga pedagang lainnya, seperti tukang kue, dan satpam penjaga kompleks perumahan. Tidak ada juga yang sebangsaku berkeliaran.
Ternyata ada Cunguk. Dia sedang mengendus jalanan. Kelaparan selalu menyertai hidupnya. Bersyukurlah aku hidup dengan perempuan tua. Cunguk tidak menoleh ke arahku, mungkin selepas hujan itu dia jadi sangat lapar.
Aku berjalan lagi. Sayang, kali ini Maya tidak ada di sana. Dia terlalu dimanja tuannya dan pasti tidak boleh dibiarkan ke luar rumah karena takut nanti kena penyakit. Aku kembali pulang saja. Tidak ada yang menarik di jalanan hari ini. Selepas hujan mereda, semua orang bahkan mengurung diri di rumah karena terlena.
Hampir sampai di jalan menuju rumah, kulihat pintu rumah masih terbuka. Perempuan tua itu selalu ceroboh, dia pikir tidak apa-apa jika pintu rumahnya dibuka lebar. Kulihat ada motor terparkir di samping halaman rumahnya yang mengarah ke belakang. Motor yang kulihat tadi.
Aku masuk, ada sesuatu yang tidak beres. Kuendus ada aroma lain, dan bukan aroma perempuan tua itu saja. Sesampai di ruang tamu, aku terkejut. Perempuan tua itu berada dalam kamarnya dengan mulut dibekap, tangan dan kaki terikat. Dua orang laki-laki yang kulihat di jalan tadi mengobrak-abrik isi lemari-lemari.
“Nyonya Lia! Di mana disembunyikan hartamu? Uang asuransi suamimu, perhiasanmu!” hardik orang itu, sambil menodongkan benda tajam panjang berkilat. Aku terkejut. Mereka orang jahat.
Perempuan tua itu ingin teriak tapi mulutnya dibekap. Aku ingin menolongnya. Aku bersuara sekuat tenaga! Menggigit salah satu kaki orang itu. Perempuan tua itu melotot karena kelakuanku.
“Sialan! Sakit benar gigitannya. Kucing siapa ini!”
Seketika tubuhku terpental karena ditendang, jatuh menghantam kaki lemari kayu. Aku tak berdaya. Sementara orang tadi mengaduh kesakitan.
“Bodoh! Baru digigit kucing saja, meraung! Nyonya Lia, katakan di mana uang dan perhiasanmu disimpan. Kalau tidak, parang tajam ini akan melayang ke tubuh Anda,” teriaknya.
Aku tak bisa bangun dan hanya menyaksikan aksi keji itu.
“Jangan sakiti Delon! Kalian perampok? Tolong! Ada perampok!” seru perempuan tua itu terdengar setelah bekapan mulutnya dilepas, tapi ikatan tangan dan kakinya tidak.
“Sialan! Ayo jawab, di mana uang itu Nyonya!”
“Sumpah! Aku tidak punya uang banyak. Uang itu tabunganku!”
“Pembohong! Saya tahu betul siapa suami Nyonya! Kalian orang kaya, kan. Sejak dulu bahkan sampai kau menjanda pun,” paksa orang itu dengan menodongkan benda tajamnya.
“Mohon, jangan sakiti saya dan Delon. Uang itu habis terpakai.”
Mereka tidak percaya dan segera mengobrak-abrik apa pun yang ada dalam lemarinya. Semua berantakan, akhirnya kedua perampok itu menemukan lembaran uang dan perhiasan seadanya. Aku tidak berdaya, perempuan tua itu tetap membela haknya.
Naas, tubuhnya ditendang keras kedua perampok. Aku mengeong semampunya, tidak tega. Dia disiksa demi membela haknya. Terakhir kali kulihat benda tajam panjang itu menusuk perutnya sebelum kedua perampok itu pergi. Dia tumbang dengan cara menyedihkan.
Aku lirih mengeong berjalan pincang. Kudekati perempuan tua itu yang telah beraroma anyir dengan kesedihan mendalam. Cairan merah pekat mengotori lantai. Setelah suaraku berkali-kali mengencang, satu per satu tetangga berdatangan ke rumah dan histeris melihat kami.(*)
Bekasi, Oktober 2021
Penulis :
Rosi Ochiemuh bernama asli Rosi Jumnasari. Lahir di Kertapati-Palembang, 14 Maret silam. Ibu rumah tangga yang berdomisili di Cikarang Barat. Beberapa karya fiksinya : Buku Kumcer Sesuatu di Kota Kemustahilan (LovRinz Publishing 2018). Novelnya : Rumah Amora, LovRinz Publishing 2019 & Bulan Madu Pengantin, LovRinz Publishing 2020.
Komentar
Posting Komentar